Hukum selama ini dipahami hanya sebagai perangkat norma atau kaedah
belaka yang sifatnya idealitas sebagai patokan mengenai sikap tindak atau perilaku
masyarakat. Karena tidak dipahami sebagai tindak atau perilaku yang teratur
sehingga wajar saja hukum kita bersifat formalistik dan legalistik. Hal ini tercermin
dari praktek penegakan hukum (law enforcement) di dalam masyarakat yang
mengedepankan hukum dalam arti positif semata.
Sementara itu, pembangunan hukum selama ini dititik beratkan pada hal-hal
yang menyangkut substansi hukum (legal substance) tetapi lupa memperhatikan
efektivitasnya di dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan hukum dibuat demikian
modern tidak berlaku efektif di dalam masyarakat bahkan tidak jarang ditolak.
Hal yang benar adalah yang dapat dipahami masyarakat, jelas redaksinya,
jelas tujuannya dan ada kepentingan masyarakat yang dilindungi. Oleh karena itu
hukum dibuat harus konkret atau harus di konkretisasikan. Masyarakat harus
mengetahui keberadaan hukum tersebut, untuk apa (tujuan) hukum itu diberlakukan,
apakah ada kepentingan mereka yang dilindungi oleh hukum tersebut dan bagaimana
hukum itu diberlakuan dan apa sanksinya.
Pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum yang berlaku membantu
menghindari masyarakat dari rasa curiga (prejudice) ataupun apriori. Selanjutnya
hukum harus dapat memberikan kejelasan tentang sanksinya bila hukum itu
dilanggar. Sanksi dapat merupakan suatu sarana untuk membuat orang merasa takut
untuk melanggar.
Berkaiatan dengan hal tersebut di atas maka dalam menegakkan hukum
terhadap cyber crime perlu dipikirakan sejauhmana hukum itu harus diatur sehingga
tidak menimbulkan permasalahan baru.
Perlu kita yakini bahwa perkembangan teknologi dan informasi akan
memacu pertumbuhan jenis kejahatan tertentu, karena perkembangan teknologi dan
informasi selalu diikuti dengan perkembangan kriminalitas. Oleh karena itu, hukum
pidana harus mengikuti perkembangan kriminalitas sehingga diharapkan dapat
memberi perlindungan dan rasa keadilan dalam masyarakat, serta hukum tidak
ketinggalan zaman, bahkan hukum harus dapat mencegah dan mengatasi kejahatan
yang bakal muncul (Bakat Purwanto, 1995:4). Hukum pidana sebagai bagian dari
keseluruhan hukum pada prinsipnya mempunyai fungsi dan tugas sebagai alat untuk
melindungi hak asasi setiap orang maupun kepentingan masyarakat dan negara agar
tercapai keseimbangan, ketertiban, ketenteraman dan keamanan dalam menjaga
kehidupan masyarakat (Adenan, 1995:74).
Pemanfaatan komputer oleh penjahat dapat digunakan untuk melakukan
kejahatan seperti kasus pembobolan BNI New York, BRI Cabang Brigjen Katamso
Yogya, BDN Cabang Bintaro Jaya, Bank Danamon Pusat, Bank Danamom Glodok
Plaza, percobaan pembobolan Union Bank of Switzerland (UBS), kasus Mustika
Ratu dan banyak kasus-kasus lainnya. Dari uraian kasus-kasus tersebut di atas, dapat diketahui bahwa kejahatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan komputer, telekomunikasi dan informasi, namun landasan hukum yang digunakan adalah KUH Pidana yang belum
memasukkan aturan hukum dengan aspek teknologi baru.
Untuk penegakan hukum terhadapat cyber crime maka ada beberapa
tindakan yang dapat dilakukan, seperti membuat peraturan perundang-undagan baru
atau menambah beberapa pasal dalam peraturan perundang-undagan yang telah
ada dan menentukan yurisdiksinya (Saefullah Wiradipradja dan Danrivanto Budhijanto,
2002:91).
Beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada pemanfaatan teknologi
informasi telah diatur secara nasional yang kemudian disusul oleh negara-negara
yang tergabung dalam Uni Eropa. Di Asia seperti Singapura, India dan Malaysia
telah mengatur pula kegiatan-kegiatan di dunia maya ini.
Amerika serikat selain melakukan penyesuaian (berupa amandemen)
terhadap undang-undang yang memiliki relevansi dengan teknologi informasi juga
dilakukan penyusunan undang-undang baru. Sesuai dengan sistem hukum yang
dianut oleh Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Singapura, Malaysia, India yaitu
system hukum Anglo-Saxon, maka pengaturan mengenai pemanfaatan teknologi
informasi dilakukan secara sektoral dan rinci. Setiap undang-undang hanya
dimaksudkan untuk mengatur satu kegiatan tertentu saja. Apabila ditinjau dari sudut
penerapannya, memang nampak lebih praktis dan terukur, namun kadang-kadang
muncul kendala untuk mensinergikan dengan undang-undang lain yang memiliki
keterkaiatan.
Bagi Indonesia, sesuai dengan sistem hukum yang berlaku (kontinental)
kiranya lebih tepat bila pengaturan tetatang pemanfaatan teknologi informasi disusun
dalam suatu undang-undang yang bersifat pokok, namun mencakup sebanyak
mungkin permasalahan (umbrella provisions). Mernurut E. Saefullah Wiradipradja
dan Danrivanto Budhijanto(2002:91) Indonesia perlu pengaturan atas kegiatankegiatan
cyber space dilandasi oleh tiga pemikiran untama yaitu:
1. adanya kepastian hukum bagi para pelaku kegiatan-kegiatan di cyber
space mengingat belum terakomondasinya secara memadai dalam
peraturan perundang-undangan yang telah ada.
2. upaya untuk mengantisipasi implikasi-implikasi yang ditimbulkan akibat
pemanfaatan teknologi informasi, dan
3. adanya variable global yaitu perdagangan bebas dan pasar terbuka
(WTO/GATT)
Berkaitan dengan bentuk pengaturan di dalam cyber space, dapat ditinjau
dari dua pendekatan, yaitu apakah perlu menciptakan norma-norma baru dan
peraturan-peraturan khusus untuk kegiatan/aktivitas di cyber space atau apakah
cukup diterapkan model-model peraturan yang dikenal di dunia nyata (konvensional)
saja.
Apabila diterapkan begitu saja kedua pendekatan tadi, ternyata sulit sekali
memberlakukan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam dunia nyata ke dalam
dunia maya. Karena ada beberapa ketentuan hukum konvensional yang tidak dapat
diterapkan atau sulit untuk diterapkan dalam kegiatan-kegiatan cyber space, seperti
tentang alat bukti, tandatangan, tempat atau domisili para pihak dalam kontrak,
pengertian di muka umum dalam kasus pornografi. Oleh karena itu diperlukan
ketentuan-ketentuan khusus dalam beberapa hal tertentu yang bersifat spesifik yang
berlaku di cyber space.
Untuk mengupayakan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan
“computerrelated offences” menurut Andi Hamzah (1993:43) perlu dilakukan
beberapa langkah antara lain:
1. penetapan perbuatan apa yang menjadi interest berbagai pihak;
2. penelitian mengenai, apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku
dapat digunakan memproses kejahatan komputer dan siber;
3. identifikasi penyalahgunaan komputer dan siber yang melanggar
kepentingan masyarakat;
4. identifikasi kepentingan masyarakat yang perlu dilindungi dalam
kaitannya dengan penggunaan komputer, informasi dan telekomunikasi;
5. identifikasi dampak penetapan peraturan terhadap aspek sosial dan
ekonomi.
Dalam menutup sarannya Andi Hamzah mengingatkan juga agar tidak terjadi
“over criminalization.
Dalam rangka penegakan hukum terdapat perbedaan pendapat tentang perlu
tidaknya membentuk peraturan perundang-undangan baru dengan merumuskan
tindak/perbuatan pidana atau cyber crime. (Heru Soepraptomo, 2001:14) Muladi dan
Himawan dengan alasan masing-masing mengatakan bahwa perumusan kejahatan
komputer baru akan selalu ketinggalan dengan cepatnya perkembangan teknologi,
undang-undang tradisuional masih dapat digunakan, perlu hemat mempergunakan
pengaturan baru.
Sementara itu ada yang berpendapat perlunya dibuat ketentuan khusus
seperti; Teuku M. Radie, J.E. Sahetapy, Mulya Lubis, Sudama Sastraanjoyo, yang
pada pokoknya memberi alasan bahwa hukum pidana yang ada tidak siap
menghadapi kejahatan komputer, untuk menghadapi white collar crime, tindak
pidana komputer adalah pidana khusus oleh karena itu perlu hukum khusus (Yosef
Ardi, 2000).
Pada saat pembuatan undang-undang yang berkaitan dengan cyber space
juga perlu diperhatikan mengenai kompetensi pengadilan dalam menangani perkara
cyber crime. Mengenai yurisdiksi dalam kegiatan cyber space perlu diperhatikan
sejauhmanakah suatu negara memberi kewenangan kepada pengadilan untuk
mengadili pelaku tindak pidana dalam kegiatan cyber space, khususnya dalam
pemanfaatan teknologi informasi.
Untuk menuntut seseorang ke pengadilan ada dua hal yang harus
diperhatikan (Ny. Tien Saefullah, 2002:100) yaitu;
1. Apakah pengadilan yang bersangkutan berwenang untuk memeriksa
suatu perkara? Hal ini menyangkut subject matter jurisdiction, yaitu
yurisdiksi yang bersifat mutlak, sehingga tidak dapat disimpangi;
2. Apakah pengadilan yang bersangkutan berwenang untuk memaksakan
putusan terhadap orang lain yang bersalah.
Kewenangan pengadilan untuk mengadili perlu diatur terlebih dahulu dengan
tujuan untuk mengantisipasi adanya penolakan untuk mengadili dari pengadilan
dengan alasan tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili dan menghukum pelakupelaku
cyber crime (lack of jurisdiction). Jika terjadi penolakan maka akan terjadi
ketidakadilan dan ketidak pastian hukum, karena pelakunya akan bebas tanpa
melalui proses pengadilan. Akibatnya orang akan mengulangi melakukan perbuatan
tersebut, bahkan mungkin akan melakukan kejahatan yang lebih berbahaya lagi.
Menurut Darrel Munthe, yurisdiksi di cyber space membutuhkan prinsipprinsip
yang jelas dari hukum internasional dan hanya melalui prinsip-prinsip dalam
yurisdiksi hukum internasional negara-negara dapat dibebankan untuk mengadopsi
pemecahan yang sama terhadap yurisdiksi cyber space (Ny. Tien S. Saefullah,
2002:101). Pendapat di atas, dapat ditafsirkan bahwa dengan diakuinya prinsipprinsip
yurisdiksi yang berlaku dalam hukum internasional oleh setiap negara, maka
akan mudah bagi negara-negara untuk mengadakan kerjasama dalam rangka
harmonisasi ketentuan-ketentuan untuk menanggulangi cyber crime.
Selain masalah yurisdiksi perlu juga diatur secara jelas tentang alat-alat bukti
yang dapat dipergunakan sebagai beban pembuktian.
Dalam penggunaan cyber space, beberapa masalah dalam pembuktian akan
timbul misalnya system “digital signature” yang berkaitan dengan hukum yang ada.
Banyak negara mensyaratkan bahwa suatu transaksi harus disertai dengan bukti
tertulis, dengan pertimbangan untuk adanya kepastian hukum.
Permasalahan yang akan terjadi bagaimana sebuah dokumen elektronik yang
ditandatangani dengan “digital signature” dapatkah dikatagorikan sebagai bukti
tertulis?. Di Inggris, bukti tertulis haruslah berupa tulisan (typing), ketikan
(printing), litografi (lithographi) fotografi, atau bukti-bukti yang mempergunakan
cara-cara lain yang dapat memperlihatkan atau mengolah kata-kata dalam bentuk
yang terlihat secara kasat mata. Definisi dari bukti tertulis itu sendiri sudah diperluas
hingga mencakup juga telex, telegram atau cara-cara lain dalam telekomunikasi yang
menyediakan rekaman dari perjanjian. Indonesia sendiri dalam Pasal 26 A Undangundang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi juga telah
memperluas pengertian tentang alat yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP.
Dalam Pasal 26 A disebutkan alat bukti yang dalam bentuk petunjuk khusus
untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
serupa dengan itu;
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan
atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Dari fakta-fakta tersebut di atas jelaslah bahwa dokumen elektronik yang
ditandatangani dengan sebuah “digital signatuil” dapat dikatagorikan sebagai bukti
tertulis. Tetapi terdapat suatu prinsip hukum yang menyebabkan sulitnya
pengembangan penggunaan dari dokumen elektronik atau “digital signature” yaitu
adanya syarat bahwa dokumen tersebut harus dapat dilihat, dikirim dan disimpan
dalam bentuk kertas.
Berkaitan dengan dokumen elektronik juga dapat timbul masalah bagaimana
cara untuk menentukan dokumen yang asli dan salinan. Karena telah menjadi
prinsip hukum umum bahwa;
a. dokumen asli mestilah dalam bentuk perjanjian tertulis yang
ditandatangani oleh para pihak yang melaksanakan perjanjian;
b. dokumen asli hanya ada satu dalam setiap perjanjian;
c. semua reproduksi dari perjanjian tersebut merupakan salinan.
Ketika sebuah perjanjian transaksi menggunakan “digital signature” yang
disebut sebagai dokumen asli tempat “digital signature” itu dibubuhkan pada
dasarnya adalah sebuah dokumen elektronik. Dokumen elektronik ini berada dalam
memori komputer tempat perjanjian itu dilakukan. Konsekuensinya, setiap hasil
print-out dari memori komputer tersebut, baik dalam bentuk kertas atau pun dalam
bentuk lain, adalah sebuah salinan yang pada dasarnya tidak akan pernah memiliki
nilai kepastian hukum yang sama dengan dokumen aslinya.
Mengingat semakin maraknya cyber crime di masa akan datang, maka sudah
sepatutnya pemerintah segera mengambil langkah-langkah proaktif untuk
menanggulangi dampak negatif yang akan timbul dari cyber crime. Untuk itu cara
yang terbaik adalah dengan membuat aturan yang jelas dan tegas mengenai cyber
crime agar terdapat kepastian hukum bagi pihak yang terlibat.
Sumber : http://www.ajrc-aceh.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar