Kamis, 18 Februari 2010

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENCURIAN INFORMASI/CYBER CRIME

Hukum selama ini dipahami hanya sebagai perangkat norma atau kaedah

belaka yang sifatnya idealitas sebagai patokan mengenai sikap tindak atau perilaku

masyarakat. Karena tidak dipahami sebagai tindak atau perilaku yang teratur

sehingga wajar saja hukum kita bersifat formalistik dan legalistik. Hal ini tercermin

dari praktek penegakan hukum (law enforcement) di dalam masyarakat yang

mengedepankan hukum dalam arti positif semata.

Sementara itu, pembangunan hukum selama ini dititik beratkan pada hal-hal

yang menyangkut substansi hukum (legal substance) tetapi lupa memperhatikan

efektivitasnya di dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan hukum dibuat demikian

modern tidak berlaku efektif di dalam masyarakat bahkan tidak jarang ditolak.

Hal yang benar adalah yang dapat dipahami masyarakat, jelas redaksinya,

jelas tujuannya dan ada kepentingan masyarakat yang dilindungi. Oleh karena itu

hukum dibuat harus konkret atau harus di konkretisasikan. Masyarakat harus

mengetahui keberadaan hukum tersebut, untuk apa (tujuan) hukum itu diberlakukan,

apakah ada kepentingan mereka yang dilindungi oleh hukum tersebut dan bagaimana

hukum itu diberlakuan dan apa sanksinya.

Pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum yang berlaku membantu

menghindari masyarakat dari rasa curiga (prejudice) ataupun apriori. Selanjutnya

hukum harus dapat memberikan kejelasan tentang sanksinya bila hukum itu

dilanggar. Sanksi dapat merupakan suatu sarana untuk membuat orang merasa takut

untuk melanggar.

Berkaiatan dengan hal tersebut di atas maka dalam menegakkan hukum

terhadap cyber crime perlu dipikirakan sejauhmana hukum itu harus diatur sehingga

tidak menimbulkan permasalahan baru.

Perlu kita yakini bahwa perkembangan teknologi dan informasi akan

memacu pertumbuhan jenis kejahatan tertentu, karena perkembangan teknologi dan

informasi selalu diikuti dengan perkembangan kriminalitas. Oleh karena itu, hukum

pidana harus mengikuti perkembangan kriminalitas sehingga diharapkan dapat

memberi perlindungan dan rasa keadilan dalam masyarakat, serta hukum tidak

ketinggalan zaman, bahkan hukum harus dapat mencegah dan mengatasi kejahatan

yang bakal muncul (Bakat Purwanto, 1995:4). Hukum pidana sebagai bagian dari

keseluruhan hukum pada prinsipnya mempunyai fungsi dan tugas sebagai alat untuk

melindungi hak asasi setiap orang maupun kepentingan masyarakat dan negara agar

tercapai keseimbangan, ketertiban, ketenteraman dan keamanan dalam menjaga

kehidupan masyarakat (Adenan, 1995:74).

Pemanfaatan komputer oleh penjahat dapat digunakan untuk melakukan

kejahatan seperti kasus pembobolan BNI New York, BRI Cabang Brigjen Katamso

Yogya, BDN Cabang Bintaro Jaya, Bank Danamon Pusat, Bank Danamom Glodok

Plaza, percobaan pembobolan Union Bank of Switzerland (UBS), kasus Mustika

Ratu dan banyak kasus-kasus lainnya. Dari uraian kasus-kasus tersebut di atas, dapat diketahui bahwa kejahatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan komputer, telekomunikasi dan informasi, namun landasan hukum yang digunakan adalah KUH Pidana yang belum

memasukkan aturan hukum dengan aspek teknologi baru.

Untuk penegakan hukum terhadapat cyber crime maka ada beberapa

tindakan yang dapat dilakukan, seperti membuat peraturan perundang-undagan baru

atau menambah beberapa pasal dalam peraturan perundang-undagan yang telah

ada dan menentukan yurisdiksinya (Saefullah Wiradipradja dan Danrivanto Budhijanto,

2002:91).

Beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada pemanfaatan teknologi

informasi telah diatur secara nasional yang kemudian disusul oleh negara-negara

yang tergabung dalam Uni Eropa. Di Asia seperti Singapura, India dan Malaysia

telah mengatur pula kegiatan-kegiatan di dunia maya ini.

Amerika serikat selain melakukan penyesuaian (berupa amandemen)

terhadap undang-undang yang memiliki relevansi dengan teknologi informasi juga

dilakukan penyusunan undang-undang baru. Sesuai dengan sistem hukum yang

dianut oleh Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Singapura, Malaysia, India yaitu

system hukum Anglo-Saxon, maka pengaturan mengenai pemanfaatan teknologi

informasi dilakukan secara sektoral dan rinci. Setiap undang-undang hanya

dimaksudkan untuk mengatur satu kegiatan tertentu saja. Apabila ditinjau dari sudut

penerapannya, memang nampak lebih praktis dan terukur, namun kadang-kadang

muncul kendala untuk mensinergikan dengan undang-undang lain yang memiliki

keterkaiatan.

Bagi Indonesia, sesuai dengan sistem hukum yang berlaku (kontinental)

kiranya lebih tepat bila pengaturan tetatang pemanfaatan teknologi informasi disusun

dalam suatu undang-undang yang bersifat pokok, namun mencakup sebanyak

mungkin permasalahan (umbrella provisions). Mernurut E. Saefullah Wiradipradja

dan Danrivanto Budhijanto(2002:91) Indonesia perlu pengaturan atas kegiatankegiatan

cyber space dilandasi oleh tiga pemikiran untama yaitu:

1. adanya kepastian hukum bagi para pelaku kegiatan-kegiatan di cyber

space mengingat belum terakomondasinya secara memadai dalam

peraturan perundang-undangan yang telah ada.

2. upaya untuk mengantisipasi implikasi-implikasi yang ditimbulkan akibat

pemanfaatan teknologi informasi, dan

3. adanya variable global yaitu perdagangan bebas dan pasar terbuka

(WTO/GATT)

Berkaitan dengan bentuk pengaturan di dalam cyber space, dapat ditinjau

dari dua pendekatan, yaitu apakah perlu menciptakan norma-norma baru dan

peraturan-peraturan khusus untuk kegiatan/aktivitas di cyber space atau apakah

cukup diterapkan model-model peraturan yang dikenal di dunia nyata (konvensional)

saja.

Apabila diterapkan begitu saja kedua pendekatan tadi, ternyata sulit sekali

memberlakukan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam dunia nyata ke dalam

dunia maya. Karena ada beberapa ketentuan hukum konvensional yang tidak dapat

diterapkan atau sulit untuk diterapkan dalam kegiatan-kegiatan cyber space, seperti

tentang alat bukti, tandatangan, tempat atau domisili para pihak dalam kontrak,

pengertian di muka umum dalam kasus pornografi. Oleh karena itu diperlukan

ketentuan-ketentuan khusus dalam beberapa hal tertentu yang bersifat spesifik yang

berlaku di cyber space.

Untuk mengupayakan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan

computerrelated offences” menurut Andi Hamzah (1993:43) perlu dilakukan

beberapa langkah antara lain:

1. penetapan perbuatan apa yang menjadi interest berbagai pihak;

2. penelitian mengenai, apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku

dapat digunakan memproses kejahatan komputer dan siber;

3. identifikasi penyalahgunaan komputer dan siber yang melanggar

kepentingan masyarakat;

4. identifikasi kepentingan masyarakat yang perlu dilindungi dalam

kaitannya dengan penggunaan komputer, informasi dan telekomunikasi;

5. identifikasi dampak penetapan peraturan terhadap aspek sosial dan

ekonomi.

Dalam menutup sarannya Andi Hamzah mengingatkan juga agar tidak terjadi

over criminalization.

Dalam rangka penegakan hukum terdapat perbedaan pendapat tentang perlu

tidaknya membentuk peraturan perundang-undangan baru dengan merumuskan

tindak/perbuatan pidana atau cyber crime. (Heru Soepraptomo, 2001:14) Muladi dan

Himawan dengan alasan masing-masing mengatakan bahwa perumusan kejahatan

komputer baru akan selalu ketinggalan dengan cepatnya perkembangan teknologi,

undang-undang tradisuional masih dapat digunakan, perlu hemat mempergunakan

pengaturan baru.

Sementara itu ada yang berpendapat perlunya dibuat ketentuan khusus

seperti; Teuku M. Radie, J.E. Sahetapy, Mulya Lubis, Sudama Sastraanjoyo, yang

pada pokoknya memberi alasan bahwa hukum pidana yang ada tidak siap

menghadapi kejahatan komputer, untuk menghadapi white collar crime, tindak

pidana komputer adalah pidana khusus oleh karena itu perlu hukum khusus (Yosef

Ardi, 2000).

Pada saat pembuatan undang-undang yang berkaitan dengan cyber space

juga perlu diperhatikan mengenai kompetensi pengadilan dalam menangani perkara

cyber crime. Mengenai yurisdiksi dalam kegiatan cyber space perlu diperhatikan

sejauhmanakah suatu negara memberi kewenangan kepada pengadilan untuk

mengadili pelaku tindak pidana dalam kegiatan cyber space, khususnya dalam

pemanfaatan teknologi informasi.

Untuk menuntut seseorang ke pengadilan ada dua hal yang harus

diperhatikan (Ny. Tien Saefullah, 2002:100) yaitu;

1. Apakah pengadilan yang bersangkutan berwenang untuk memeriksa

suatu perkara? Hal ini menyangkut subject matter jurisdiction, yaitu

yurisdiksi yang bersifat mutlak, sehingga tidak dapat disimpangi;

2. Apakah pengadilan yang bersangkutan berwenang untuk memaksakan

putusan terhadap orang lain yang bersalah.

Kewenangan pengadilan untuk mengadili perlu diatur terlebih dahulu dengan

tujuan untuk mengantisipasi adanya penolakan untuk mengadili dari pengadilan

dengan alasan tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili dan menghukum pelakupelaku

cyber crime (lack of jurisdiction). Jika terjadi penolakan maka akan terjadi

ketidakadilan dan ketidak pastian hukum, karena pelakunya akan bebas tanpa

melalui proses pengadilan. Akibatnya orang akan mengulangi melakukan perbuatan

tersebut, bahkan mungkin akan melakukan kejahatan yang lebih berbahaya lagi.

Menurut Darrel Munthe, yurisdiksi di cyber space membutuhkan prinsipprinsip

yang jelas dari hukum internasional dan hanya melalui prinsip-prinsip dalam

yurisdiksi hukum internasional negara-negara dapat dibebankan untuk mengadopsi

pemecahan yang sama terhadap yurisdiksi cyber space (Ny. Tien S. Saefullah,

2002:101). Pendapat di atas, dapat ditafsirkan bahwa dengan diakuinya prinsipprinsip

yurisdiksi yang berlaku dalam hukum internasional oleh setiap negara, maka

akan mudah bagi negara-negara untuk mengadakan kerjasama dalam rangka

harmonisasi ketentuan-ketentuan untuk menanggulangi cyber crime.

Selain masalah yurisdiksi perlu juga diatur secara jelas tentang alat-alat bukti

yang dapat dipergunakan sebagai beban pembuktian.

Dalam penggunaan cyber space, beberapa masalah dalam pembuktian akan

timbul misalnya system “digital signature” yang berkaitan dengan hukum yang ada.

Banyak negara mensyaratkan bahwa suatu transaksi harus disertai dengan bukti

tertulis, dengan pertimbangan untuk adanya kepastian hukum.

Permasalahan yang akan terjadi bagaimana sebuah dokumen elektronik yang

ditandatangani dengan “digital signature” dapatkah dikatagorikan sebagai bukti

tertulis?. Di Inggris, bukti tertulis haruslah berupa tulisan (typing), ketikan

(printing), litografi (lithographi) fotografi, atau bukti-bukti yang mempergunakan

cara-cara lain yang dapat memperlihatkan atau mengolah kata-kata dalam bentuk

yang terlihat secara kasat mata. Definisi dari bukti tertulis itu sendiri sudah diperluas

hingga mencakup juga telex, telegram atau cara-cara lain dalam telekomunikasi yang

menyediakan rekaman dari perjanjian. Indonesia sendiri dalam Pasal 26 A Undangundang

No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi juga telah

memperluas pengertian tentang alat yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP.

Dalam Pasal 26 A disebutkan alat bukti yang dalam bentuk petunjuk khusus

untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:

a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,

diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau

serupa dengan itu;

b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat

dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan

atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,

benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara

elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,

foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Dari fakta-fakta tersebut di atas jelaslah bahwa dokumen elektronik yang

ditandatangani dengan sebuah “digital signatuil” dapat dikatagorikan sebagai bukti

tertulis. Tetapi terdapat suatu prinsip hukum yang menyebabkan sulitnya

pengembangan penggunaan dari dokumen elektronik atau “digital signature” yaitu

adanya syarat bahwa dokumen tersebut harus dapat dilihat, dikirim dan disimpan

dalam bentuk kertas.

Berkaitan dengan dokumen elektronik juga dapat timbul masalah bagaimana

cara untuk menentukan dokumen yang asli dan salinan. Karena telah menjadi

prinsip hukum umum bahwa;

a. dokumen asli mestilah dalam bentuk perjanjian tertulis yang

ditandatangani oleh para pihak yang melaksanakan perjanjian;

b. dokumen asli hanya ada satu dalam setiap perjanjian;

c. semua reproduksi dari perjanjian tersebut merupakan salinan.

Ketika sebuah perjanjian transaksi menggunakan “digital signature” yang

disebut sebagai dokumen asli tempat “digital signature” itu dibubuhkan pada

dasarnya adalah sebuah dokumen elektronik. Dokumen elektronik ini berada dalam

memori komputer tempat perjanjian itu dilakukan. Konsekuensinya, setiap hasil

print-out dari memori komputer tersebut, baik dalam bentuk kertas atau pun dalam

bentuk lain, adalah sebuah salinan yang pada dasarnya tidak akan pernah memiliki

nilai kepastian hukum yang sama dengan dokumen aslinya.

Mengingat semakin maraknya cyber crime di masa akan datang, maka sudah

sepatutnya pemerintah segera mengambil langkah-langkah proaktif untuk

menanggulangi dampak negatif yang akan timbul dari cyber crime. Untuk itu cara

yang terbaik adalah dengan membuat aturan yang jelas dan tegas mengenai cyber

crime agar terdapat kepastian hukum bagi pihak yang terlibat.

Sumber : http://www.ajrc-aceh.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar